Bahasa Indonesia: Biografi Ismail Marzuki oleh Rahma Rosalina

Putra Kwitang

Ismail Marzuki adalah seorang yang berjasa bagi Indonesia. Beliau adalah seorang komponis besar Indonesia yang mewariskan tak kurang dari 200 lagu. Ismail Marzuki atau yang akrab disapa dengan Mail atau Maing ini lahir pada 11 Mei 1914 di Kampung Kwintang Jakarta Pusat.
Memiliki seorang ayah bernama Marzuki Saeran yang rajin beribadah dan aktif dalam kelompok musik rebana di Kampung Kwintang Lebak. Marzuki Saeran juga senang dengan keroncong, cokek, dan gambus. Adapun seorang ibu (yang namanya tidak disebutkan oleh penulis) yang meninggal 3 bulan sesudah melahirkan Ismail Marzuki.
Ismail Marzuki sebenarnya mempunyai 2 orang kakak laki-laki yang bernama Yusuf dan Yakub. Namun Yusuf meninggal pada usia 3 tahun dan Yakub meninggal pada saat umur 1 tahun.
Ayahnya menikah lagi dengan seorang janda beranak satu yang usia anaknya terpaut 12 tahun lebih tua daripada Ismail. Namanya Anie Hamidah.
Ayahnya yang menginginkan agar Ismail Marzuki kelak bisa bekerja sebagai pegawai kantoran lalu memasukkan Ismail ke Christelijk HIS (Hollandsh Inlandsche School) Idenburg, salah satu sekolah unggulan di Menteng.
Pada masa ini pula Ismail dimasukkan ke Madrasah Unwanul Fallah, di Jalan Kramat Kwintang II. Alhasil dia pun memahami kitab suci Al Quran dengan baik dan tumbuh menjadi anak yang berpikiran terbuka.
Ismail Marzuki juga diikutkan dalam kegiatan kepanduan, sebagai anggota KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia) di Kwartir Surya Wirwan. Ismail tidak hanya bergaul dengan anak-anak Kwintang yang sama-sama memiliki kegemaran mandi atau terjun dan berenang, tetapi dia juga bergaul luas dengan anak lain dari berbagai bangsa. Seperti Tionghoa, Belanda, Indo, dan lain-lain suku bangsa.
            Oleh karena itu juga dia pintar membawa diri dalam kultur barat. Tak ayal Ismail tidak lagi disebut Ismail atau Maing, tetapi Benjamin atau Ben.
            Setamatnya di HIS, Ismail melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Jalan Menjangan, Batavia. Sekolah yang didirikan pemerintahan kolonial pada 1914 ini merupakan sekolah bagi orang-orang pribumi golongan atas, orang Tionghoa, dan Belanda yang sudah tamat HIS. Ismail tamat dari sekolah ini dengan kemampuan berbahasa Belanda dan bahasa Inggris yang baik.

Penyuka Musik
            Sejak masa kanak-kanak, Ismail sudah menyukai lagu-lagu. Beruntung di rumahnya ada gramofon. Sang Ayah yang tergolong keluarga berada dan juga dirinya sendiri penyuka musik, mungkin ingin melengkapi rumahnya dengan mesin omong ini.
            Koleksi piringan hitam keluarga Marzuki cukup banyak, dengan aneka lagu dan irama. Yang paling disukai Ismail adalah lagu dari Prancis atau Italia,  juga lagu-lagu Latin, dengan irama rumba, tango, samba, dan sebagainya.
Selain piringan hitam, dari kecil Ismail juga beruntung sudah kenal alat musik. Setiap tahun, ayahnya menawarkan hadiah yang dimaksudkan untuk mendorong semangat belajar Ismail.
Pernah satu kali Pak Marzuki membelikan Ismail sepeda Ray buatan Inggris yang termasuk mahal. Namun Ismail meminta mandolin. Akhirnya dengan berat hati Pak Marzuki menuruti keinginan Ismail.
Minat musiknya semakin menjadi saat sekolah di MULO -SMP di masa kolonial. Sebelumnya dia memainkan gitar dan ukulele, berikutnya ia merambah pula belajar instrumen pengusung melodi, seperti biola, akordeon, saksofon dan piano. Untuk bisa memainkan alat-alat musik yang bermacam-macam ini, Ismail sedikitnya menghabiskan waktu 4-5 jam seharinya, bahkan mungkin lebih.
            Setiap naik kelas Ismail selalu meminta alat musik dan Ismail pun semakin terbuai oleh musik daripada oleh pelajaran sekolah. Kamarnya pun semakin penuh dengan alat musik.
           
Pemasar Piringan Hitam
            Setamat MULO, ayah Ismail mencarikannya pekerjaan. Dengan kemampuan bahasa Belanda dan Inggris yang baik, dia dengan mudah diterima di Socony Service Station di Java Veg (kini Jalan Cokroaminoto, Jakarta) sebagai kasir dengan gaji 30 gulden per bulan. Namun karena merasa tidak cocok dengan atasannya yang merupakan Joseph, orang Belanda. Maka dia pun berhenti bekerja disana dan mencari pekerjaan sendiri.
            Akhirnya dia bekerja di perusahaan KK Knies di Noordwijk (kini Jalan Ir. H. Juanda), yang menjual alat musik dan piringan hitam merek Columbia. Ismail Marzuki bekerja sebagai tenaga verkoper (sales and marketing). Dia tidak mendapat gaji namun komisi tergantung seberapa banyak dia bisa menjual piringan hitam.

            Di pekerjaan ini Ismail tidak hanya cocok, tapi juga sukses. Dia mendapat banyak komisi dari penjualan piano, radio, dan piringan hitam. Selain pintar meyakinkan calon pembeli, penampilan Ismail yang mendukung yakni necis dan berpakaian rapi menjadi salah satu peranan besar juga.
            Sore hari dengan sepeda motor kesayangan merek BSA buatan Inggris, Ismail Marzuki “dinas” berkeliling kota Jakarta. Baju setrikaan yang licin, sepatu mengkilat, dan juga dasi yang menepel di kerahnya merupakan ciri khas dari Ismail Marzuki.
            Ismail tak kenal lelah dalam menekuni pekerjaan ini. Dia datangi calon pembeli dan dengan pintar dia menjelaskan lagu-lagu dari piringan hitam yang memang dia kuasai.
            Penjual dan pembeli tidak hanya bertransaksi, namun juga membahas musik hingga berjam-jam. Sehingga hubungan yang terjalin tidak hanya sebatas penjual dan pembeli, tetapi menjadi sesama penikmat (dan pelaku) musik.
            Pekerjaan sebagai verkoper alat musik dan piringan hitam ini juga berperan lebih dalam membentuk karier lagu Ismail sebagai penyanyi, pemain musik, dan penggubah lagu.
            Namun pekerjaan ini juga kalah oleh pekerjaan Ismail Marzuki sebagai pemusik sebagai anggota kelompom musik Lief Java atau Sweet Java Islander dan siaran radio.
            Salah satu titik balik yang penting dalam karier Ismail adalah perjumpaannya dengan Hugo Dumas, pemimpin Orkes Lief Java yang juga salah satu pegawai tinggi di Departemen Kehakiman dan salah satu agen perusahaan KK Knies tempat Ismail bekerja.
           
Lief Java, NIROM, dan VORO
            Lief Java merupakan grup yang  berkembang meski hanya didukung oleh alat musik sederhana, seperti biola, suling, gitar, cello, dan berperan penting dalam perkembangan musik keroncong atau stambul.
            Orkes Lief Java ini disebut juga sebagai “Orkes yang punya nama harum, baik di kalangan penyiaran radio, maupun dalam film dan pertunjukan”. Dapat dikatakan juga bahwa Orkes Lief Java adalah “Ibu” seni suara dan seni musik Indonesia.

            Ismail remaja, berusia 17 tahun yakni tahun 1936, ikut bergabung dengan grup Lief Java ini bersama teman-temannya. Segera saja bakat Ismail di bidang musik tampak menonjol.
            Selain memainkan alat musik, Ismail juga bisa tampil sebagai penyanyi, menulis lirik lagu, dan kemudian menulis lagu. Di Lief Java, Ismail aktif membuat aransemen lagu Barat, Keroncong, maupun langgam melayu. Ismail disebut sebagai orang pertama yang memperkenalkan alat musik akoredeon ke dalam langgam melayu.
            Namun dibandingkan memainkan isntrumen, Ismail rupanya lebih suka menyanyi. Suaranya yang berkarakter bariton –antara bas dan tenor- membuat sebagian kawannya melontarkan julukan “Bing Crosby Kwintang”.
            Jika saat Ismail baru masuk Lief Java di sana sudah ada nama besar, berikutnya giliran Ismail yang berkontribusi dalam perekembangan musik keroncong. Ia disebut juga sebagai pencipta muda yang punya cita-cita tinggi.
            Ketika Belanda membentuk perusahaan radio NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij) pada Maret 1934, grup Lief Java diberi kesempatan untuk mengisi siaran.
            Sejak saat itulah, Ismail terjun total di bidang radio. Satu hal yang berupa efek positif, meki lebih suka menyanyi. Ternyata bakatnya yang lebih besar juga lahir di periode ini, yakni sebagai pencipta lagu.
            Dengan siaran di NIROM, meski porsinya sedikit dibanding porsi untuk kalangan bangsa Eropa, popularitas Orkes Lief Java sangat terangkat. Mereka bahkan menjual foto untuk menjadi koleksi para penggemarnya melalui iklan media massa.
            Dapat juga ditambahkan di sini, bahwa selain keroncong, genre musik lain yang juga tumbuh penggemarnya adalah musik Lautan Teduh atau hawaiian. Sempat muncul insiden, di mana lagu pembukaan grup hawaiian Ismail ini, yang bersemangat, diserobot oleh NIROM untuk pembukaan siarannya pada pukul 5 sore. Sweet Java Islander atau Lief Java protes, namun NIROM tidak melayaninya. Grup ini tidak bisa berbuat apa-apa, karena tidak ada hak cipta. Namun dengan adanya insiden ini, Ismail dan sejumlah teman mengundurkan diri dari NIROM sekitar tahun 1937.
Perkembangan lain yang terjadi adalah terbentuknya VORO (Vereeniging voor Oosterche Radio Omroep) guna menampung aspirasi pendengar radio Ketimuran yang kurang erakomodasi oleh NIROM yang lebih mementingkan pendengar Eropa. Pimpinan radio pada tahun 1937 adalah Abdoelrachman Saleh.
VORO didirikan dengan modal seadanya oleh pemuda nasionalis. Studio radio ini berlokasi di salah satu rumah tinggal di Kramat Raya. Antena pemancarnya disebut dari bambu betung yang disambung-sambung dengan tali ijuk. Dinding studio dilapisi karung goni. Studio ini hanya mempunyai dua mikrofon model kotak. Boleh jadi VORO merupakan pemancar radio milik bumiputera di seluruh Indonesia.
Voro bisa hidup karena dukungan sumbangan dari para dermawan, mengingat pada masa itu belum dikenal iklan radio yang mendatangkan uang. Namun di VORO-lah berkumpul pemusik muda dengan semangat kebangsaan.
Dengan modal seadanya itu, setiap Sabtu malam Minggu Orkes Lief Java mengadakan siaran, dengan disemarakkan oleh tampilnya penyanyi tunanetra terkenal Miss Annie Landaouw. Pemain Lief Java tampil di VORO tanpa bayaran. Mereka hanya mendapat uang transpor secukupnya.
Dalam perkembangan berikut, NIROM meminta Ismail untuk memimpin Studio Orkes Ketimuran yang ada di Bandung. Dengan ini Ismail sudah tidak lagi pemusik amatir di Lief Java, tetapi sudah menjadi pemusik profesional.

Eulis Zuraida


Pertemuan Ismail dengan Eulis (Eulis Anjung binti Empi)  terjadi ketika Ismail pindah ke Bandung dan bergabung dengan klub musik di kota ini. Ayah Eulis dikenal sebagai Reserse Empi.
            Eulis adalah biduanita keroncong di Orkes Hwan An dan penembang lagu Sunda. Ia sudah tampil di muka umum ketika usianya menginjak 14 tahun.
            Setelah bergabung dengan orkes yang di dalamnya ada Ismail, Eulis selalu bertanya pada teman-temannya sebelum pentas, “Ada si Ismail tidak?”
            “Ada. Orang dia yang berperan,” jawab salah seorang temannya.
            “Ah aku tidak mau bernyanyi kalau ada dia,” sahut Eulis ketus.
            Namun ternyata Eulis akhirnya bernyanyi juga setelah dibujuk teman-temannya.
            Berbeda dengan Eulis, sikap Ismail terhadap Eulis justru kebalikannya. Ismail sering mengajak Eulis bercanda, sikap yang perlahan-lahan meruntuhkan hatinya.
            Eulis benar-benar berubah saat perjalanan muhibah ke Singapura di akhir tahun 1930-an. Satu saat di tengah perjalanan dengan kapal, Eulis mabuk laut. Dia pun mual dan ingin muntah.
            Ismail yang mengetahui keadaan itu tanpa ragu mengeluarkan sapu tangan dan menengadahkan tangannya untuk menampung muntah Eulis. Setelah itu Ismail memijit-mijit kepala dan tengkuk Eulis, sehingga sang gadis merasa enakan.
            Peristiwa itu meruntuhkan hati Eulis dan semenjak itu pula Eulis menerima kehadiran Ismail. Kedua pencinta musik itu pun lalu berpacaran. Sekitar 3 tahun tanpa sepengetahuan kedua orang tue Eulis.
            Mereka beranggapan, wanita yang menikah dengan pemuda Jakarta akan dituntut untuk serba bisa: memasak, mencuci, menyetrika, membuat baju, membuat kue, dan sebagainya. Sementara orang tua Eulis melihat putrinya hanya bisa bernyanyi dan khawatir Eulis tidak menjadi istri yang becus dalam urusan rumah tangga.
            Namun cinta muda mudi ini tak surut meski orang tua Eulis tak menyetujui. Sikap Ismail yang selalu baik pada keluarga Eulis membuat hati mereka luluh dan menyetujui pernikahan putrinya dengan Ismail pada tahun 1940.
            Perjalanan cinta Ismail-Eulis ini bisa jadi dilukiskan oleh lagu Ismail Marzuki yang berjudul “Dari Mana Datangnya Asmara”
            Setelah menikah, Eulis pun diboyong Ismail ke Jakarta dan memilih mengontrak rumah di Jalan Gunung Sahari. Kemudian pindah ke Gang Basaan di kawasan Tanah Abang. Namun tak lama kembali pindah ke Kampung Bali (masih sekitar Tanah Abang). Mereka kemudian membeli rumah yang semula di kontrak.
            Eulis yang memang tidak bisa apa-apa dalam urusan rumah tangga, kemudian diajari oleh Ismail memasak berbagai jenis masakan, membuat aneka kue, menjahit, hingga Eulis bisa membuat baju sendiri.
            Bagi Eulis, sosok Ismail bukan hanya pria yang tampan, namun sangat menarik, rapi dan resik (suka kebersihan), lucu, dan yang paling penting dari semuanya adalah Ismail amat memperhatikan Eulis.
            Sayangnya Ismail-Eulis tidak dikarunia anak oleh Yang Maha Kuasa. Akhirnya Ismail memutuskan mengangkat anak dari saudara Eulis yang bernama Rahmi Aziah, yang sudah diminta Ismail dari sejak ibunya hamil dari dirinya.

            Ismail sebenarnya menginginkan anak laki-laki, namun ternyata yang lahir perempuan. Dia tidak keberatan dan mengambil Rahmi sebagai seorang anak saat usianya 2 bulan.

Wafatnya Sang Komponis
            Sebagai penggemar instrumen setiap musik, Ismail senang mengumpulkan berbagai alat musik. Dia memiliki biola, banyo, gitar, ukulele, xylofon, harmonium chandran, akordeon hohner, klarinet, dan saksofon.
            Saat aktif di Orkes Lief Java, salah seorang rekan anggota orkes ini dilarang dokter menggunakan alat tiup dan menawarkan saksofon yang dia miliki kepada Ismail. Walaupun sudah memilikinya, akhirnya Ismail tetap membelinya.
            Setelah mengganti beberapa bagian dan membersihkannya beberapa bulan menggunakannya, Ismail mulai merasakan tenggorokannya sering gatal. Ismail pun mengurangi rokok dan selalu mengantongi obat isap pastiles.
            Karena begadang setiap malam, gejala yang dikira masuk angin dan tak serius ini. Akhirnya suatu pagi Ismail batuk-batuk dan dalam lendirnya bercampur darah. Segera saja Ismail ke dokter dan setelah di rontgen didapati paru-paru sebelah kirinya berbintik-bintik tipis.
            Setelah beberapa bulan berobat, Ismail dinyatakan sembuh dan dia membakar saksofon pembawa penyakit itu. Teman yang menjual saksofon kepadanya itu meninggal karena sakit paru-paru setahun kemudian.

            Sakit Ismail yang serius dialami seusai Pemilihan Bintang Radio tahun 1951. Seusai perhelatan itu, Ismail ambruk dan penyakit paru-parunya kambuh lagi.
            Sejak saat itu Ismail mulai mengurung diri di rumah. Dia masih melanjutkan mengarang lagu. Tetapi sepertinya aktivitas di malam hari jua yang merongrong kesehatannya. Sampai pertengahan tahun 1956 dia kembali masuk rumah sakit.
            Lagu akhir hidup Ismail yang dituturkan oleh istrinya melalui lagu “Kasih Putus di Tengah Jalan”.
            25 Mei 1958, seusai makan siang (seperti biasa Ismail tidur dipangkuan istrinya). Kepalanya dia sadarkan pada tangan Eulis dan minta agar sang istri mengelus-elusnya.
            “Saya nyanyiin lagu?” tanya Eulis.
            “Tidak usah, cukup elus-elus saja.”
            Tak berapa lama kemudian Ismail terbangun, “Saya belum minum obat ya?”
            “Ya, minum obat dulu.” Jawab Eulis.
            Setelah itu, Ismail kembali tidur dan Eulis pun terus mengelus-elus kepalanya. Ternyata beberapa saat, masih di pangkuan Eulis. Ismail menghembuskan napas terakhir.
            Ismail dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. Istrinya, Eulis Zuraida meninggal Agustus 2001 juga dimakamkan disini.

Pada masa penjajahan Jepang ia melakukan perlawanan dengan caranya sendiri melalui lagu. Ia menggubah lagu Bisikan Tanah Air serta lagu Indonesia Pusaka. Ia pernah dipanggil oleh Kenpetai untuk dimintai penjelasan saat lagu itu disiarkan secara luas di radio. Ia juga membuat lagu perjuangan untuk Peta (Pembela Tanah Air), yaitu mars Gagah Perwira.

Lagu Rayuan Pulau Kelapa ia ciptakan tahun 1944. Ia tidak sendiri, karena komposer lain seperti Cornel Simandjuntak membuat lagu yang menggugah semangat, Maju Tak Gentar, dan Kusbini membuat lagu yang membangkitkan perasaan Bagimu Negeri.
Lagu-lagu lainnya yang terkenal yakni: O Sarinah (1931), Dari mana datangnya asmara (1943), Halo-halo Bandung (1945), Sepasang Mata Bola (1946), Aryati, dan masih banyak lagi.   

    


Oleh
Rahma Rosalina

                                      XI IPA 1               

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Indonesia 10 (K13) : Jawaban Pelajaran II

Bahasa Indonesia 12 K13 : Jawaban Tugas 1 hal. 8-10 Kelompok 6 (XII A 1)

Bahasa Indonesia Kelas 10 (K13) : Jawaban Kegiatan 1