Bahasa Indonesia: Resensi/Review Film (Tenggelamnya Kapal Van djer Wijck)
Tugas Bahasa Indonesia
Mengulas Film ‘Kapal Van Der Wijck’
O
L
E
H
Lathifah Laila Ulfa Rahma Rosalina
Mifta Indriyanti Rezki Wahdina
Kelas XI IPA 1
T.P 2014/2015
Cintaku Takkan Pudar di Dermaga
Minang
Judul : Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck
Sutradara
: Sunil Soraya
Produser : Ram Soraya
Sunil Soraya
Skenario : Donny Dhirgantoro
Imam Tantowi
Berdasarkan : Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Karya Buya Hamka
Femmy
Prety
Dewi
Agustin
Musik : Andi Ariel Harsya
Penyunting : Sasta Sunu
Studio : Soraya Intercine Films
Distributor : Sorya Intercine Films
Tanggal
Rilis : 19 Desember 2013
Film
tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang dimainkan oleh Herjunot Ali (Zainuddin)
dan Pevita Pearce (Hayati) sebagai tokoh utamanya ini merupakan film yang
diangkat dari sebuah novel karya Buya Hamka berjudul sama, yakni Kapal Van der Wijck.
Film
yang disutradarai oleh Ram Soraya berdurasi 165 menit ini menawarkan suasana
tahun 1930an yang masih klasik akan adat budaya Minang maupun Eropa di Indonesia. Film ini
mengingatkan akan sebuah novel berjudul Siti Nurbaya yang juga kental akan
nuansa adat pada abad 19 di Indonesia.
Kisah
ini berawal dari pertemuan Zainuddin yang yatim piatu dengan Hayati pada keterasingannya di sebuah daerah bernama
Batipuh. Keduanya saling jatuh cinta, hingga akhirnya Hayati di jodohkan dengan seorang
pria bernama Aziz. Aziz merupakan pria dengan adat terpandang sama seperti
Hayati, berbeda dengan Zainuddin yang dicap sebagai lelaki yang tidak memiliki
adat. Hayati padahal tidak mencintai Aziz, namun tetap saja di
jodohkan dengannya. Hal ini juga mirip dengan kisah
Siti Nurbaya yang mana dirinya di jodohkan
dengan orang lain yang tidak dicintainya.
Kedua
tokoh utama wanita dari novel dan film tersebut sama-sama pasrah akan keadaan.
Keduanya rela mengorbankan apa saja meskipun tahu pengorbanannya dapat merugikan
dirinya sendiri. Lebih-lebih pengorbanan tersebut untuk orangtuanya.
Tak
hanya sampai disitu, setelah Hayati dijodohkan dengan Aziz tentunya hal tesebut
membuat hati Zainuddin sangat terpukul. Hingga keputusasaan akan cinta yang
dialami oleh Zainuddin ini membuat Abang Muluk, kawan Zainuddin gusar. Abang Muluk
memberikan seribu alasan untuk bangkit dari keterpurukan kepada Zainuddin.
Hingga Zainuddin dan Abang Muluk merantau untuk menghindari Hayati beserta
suaminya,Aziz. Agar luka hati yang belum sembuh itu tidak bertambah parah
digerus rasa keterpurukan.
Di
Jakarta, Zainuddin sukses menjadi penulis hingga karyanya dibuat beberapa ribu
eksemplar pada penjuru nusantara. Hal ini membuktikan bahwa kita tidak perlu
larut-larut dalam kesedihan terlalu lama, terkadang kesedihan dan rasa sakit
itu bisa menjadi pengalaman untuk menuju masa
depan yang lebih baik daripada sebelumnya.
Suatu
ketika Hayati disodorkan sebuah karya sastra berjudul Teroseir oleh seorang penulis bernama-penakan Z dari seorang sahabatnya.
Karya tersebut menjadi teman setia Hayati menunggu suaminya untuk pulang ke
rumah. Padahal suaminya sendiri sedang bermabuk-mabukkan dan bermain dadu
diluar sana. Hal tersebut mencerminkan perbuatan yang tidak patut ditiru.
Berawal dari minuman keras semua hal negatif bisa merusak seseorang yang
berjiwa baik.
Suatu
hari diadakan pertunjukkan opera, akhirnya Zainuddin dan Hayati bertemu
kembali. Pertemuan itu membuat Aziz tergoda untuk meminta bantuan dari
Zainuddin, mengingat dirinya sudah bangkrut karena hal-hal negatif yang sudah
dilakukannya.
Zainuddin
sendiri sudah sukses besar, sehingga tanpa sungkan dirinya membantu Aziz.
Padahal dulunya Aziz pernah meremehkan dan merendahkan dirinya. Dari sini kita
diajarkan untuk tidak membalas perbuatan buruk dengan perbuatan buruk melainkan
harus membalas perbuatan buruk dengan
perbuatan baik.
Mengingat janji yang pernah Zainuddin dan Hayati buat di
Tepi Tasik bahwa mereka akan selalu menjadi dua orang yang saling mencintai dan
saling memiliki satu sama lain, tak perduli apapun yang terjadi. Ternyata
sempat dikira oleh Zainuddin telah di langgar oleh Hayati karena pernikahannya
dengan Aziz, namun di dalam lubuk hati Hayati yang paling dalam dia masih
mencintai Zainuddin. Begitu pula dengan Zainuddin yang diam-diam telah
menyimpan foto Hayati di ruangan pribadinya, simbol bahwa dia tidak bisa
melupakan cintanya kepada Hayati dengan mudah. Seperti halnya cerita cinta Siti
Nurbaya dengan Samsul Bahri yang tetap bertemu empat mata, walaupun Siti
Nurbaya telah menikah dan hal ini sebelumnya juga diikat dengan sebuah janji
pertemuan. Di sini secara tidak langsung kita di ajarkan untuk tidak melupakan
janji yang telah kita buat dengan orang lain, terlebih lagi apabila janji itu
merupakan janji dengan orang terdekat.
Hayati yang sudah di tinggal oleh suaminya karena bunuh
diri akhirnya mengungkapkan perasaannya kembali kepada Zainuddin. Perasaan
kecewa karena merasa dilupakan dan dicampakkan oleh Zainuddin. Akan tetapi
Zainuddin berpendapat lain. Menurutnya Hayati-lah yang membuatnya terluka dan
amat membuatnya kecewa, karena menikah dengan orang lain yang tak ayal adalah
seorang Aziz. Aziz yang pada saat itu merupakan orang satu adat, tampan, dan
kaya raya.
Pada scene
tersebut penonton dapat mengambil amanat bahwa ketika memandang orang lain
sebaiknya jangan melihat dari adatnya, ketampanannya, dan juga hartanya.
Dikarenakan hal tersebut bisa membuat kita tertipu dengan penampilan luarnya
tanpa mengetahui sifat di dalam diri mereka sendiri.
Di akhir cerita ketika maut memisahkan cinta Zainuddin
dan Hayati. Si tokoh utama Zainuddin menyampaikan suatu hal yang sangat
membekas di dalam hati meskipun pesannya hampir tersamarkan. Bahwasanya lebih
baik pernikahan sesama suku ditiadakan, karena Indonesia memiliki banyak suku
yang patut di persatukan dengan salah satu caranya adalah melakukan pernikahan
berbeda suku dan adat istiadat.
Ketika menonton film ini
mata kita akan di manjakan dengan profesionalnya pengambilan
gambar yang membuat decak kagum tersendiri bagi penontonnya.
Baik itu dari pengambilan gambar pemandangan maupun latar tahun 90an yang
tentunya terlihat nyata
di mata penonton. Bagi orang-orang yang rindu akan suasana zaman 90an bisa
menikmati suasana yang di buat oleh film pada scene-scene tertentu. Sayangnya pada saat perpindahan latar ke
Batavia hanya kawasan kota Tua yang terlihat, kurang memuaskan.
Para
pembuat film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck ini sendiri memang lumayan detail untuk mengurusi
suasana scene 90an, terbukti dengan adanya
mobil-mobil antik yang turut melengkapi suasana 90an nan klasik. Kecuali kostum
90an yang lebih mencerminkan pakaian orang-orang eropa dibandingkan dengan
pakaian orang-orang Indonesia zaman 90an. Padahal film ini sendiri mengambil
latar di Indonesia. Adapun desas-desusnya banyak yang mengatakan bahwa pakaian
yang di pakai Hayati pada salah satu scene
cerita tersebut tidak terdapat pada zaman itu.
Sangat disayangkan film
yang di adopsi dari novel karya Buya
Hamka ini memiliki ketidaksesuaian jalan cerita
dengan novel aslinya. Menurut orang yang
pernah membaca novel berjudul Kapal Van
der Wijck itu sendiri, ada scene
di film yang tidak ditampilkan layaknya bayangan seperti di dalam novel.
Bagi
yang tidak menyukai
film mellow romance, sebaiknya jangan
menonton film ini. Karena pengenalan masalahnya yang cenderung lambat. Belum
lagi kisah percintaannya yang terkesan berlebihan seperti di buat-buat.
Durasinya terkesan lama dan membuat bosan.
Belum lagi ketika adegan Kapal Van der Wijck terbalik
tanpa di ketahui sebabnya. Efeknya terkesan di buat-buat dan tidak nyata.
Proses terbaliknya kapal sungguh sangat mengecewakan. Namun anda bisa memberi
komentar ataupun tanggapan lain ketika sudah menonton film ini.
Comments